MOTIVASI PRUSTASI
31 Oktober adalah perayaan
Haloowen dinegeri Pamansam sana. Tanggal itu juga identik dengan kisah
seseorang yang terlahir sama dengan perayaan pesta hantu orang amrik. Ini bukan
karena kisahnya yang menarik, tapi cukup menggelitik kaum tak dianggap yang hidup berkecukupan. Tidak seperti kisah orang yang miskin harta, miskin
berpikir, dan miskin hati yang banyak memulai dari nol. Kisah orang ni mulai
dari 0 + 1. Dialah sesosok pria sebutan
lebih keren daripada laki-laki. Dia juga lahir 31 Oktober itu. Di sebuah
kampung, lebih tepatnya pinggiran kota kecil mungil “Perbatasan Desa Nusasari
dengan Desa Melaya” salah satu desa di Bali Barat. Tepat 29 tahun lalu (coba
hitung tahun berapa itu). Dia lahir dengan sempurna di sebuah bilik bidan desa
(ehh, lebih tepat bidan pinggiran kota). Nama tidak pentinglah, tapi sebut saja
namanya Dek Ngurah Laba Laksana (bukan nama samaran). Hidup dalam keluarga (Ibu
= pekerja serabutan, bapak = PNS golongan II) tapi Dia lebih senang menyebut
pekerjaan Ibunya adalah Ibu Rumah Tangga yang kini sudah almarhun tepat
beberapa hari sebulum pria tersebut melanjutkan studi ke perguruan tinggi.
Tidak terlalu hebat kok, dia hanya kuliah di kampus kecil (di Bali
Utara). Namun berkat kampus itu dia bisa menjadi orang tidak terlalu pantas
disombongkan juga sih. Maklum pekerjaannya kini hanya sebagai tenaga pengajar
bagi mereka yang ingin menjadi guru.
Kembali ke kisah kelahirannya
yang cukup sempurna. Saya katakan demikian, karena kini pria itu sedikit tidak
sesempurna gambar manusia saat diajarkan oleh guru kelas 1 SD dulu tentang
bagian-bagian tubuh manusia. Kecewakah dia? Tentu tidak. Itu adalah bagian
cerdas dari Sang Maha Khalik. Dia bersekolah di mulai dari taman kanak-kanak
kurang lebih 5 Km dari rumah bambunya (rumah sewaan kebun pertanian milik
pemkab). Tapi ijasah itu sampai sekarang entah dimana, kata Bapaknya sih, masih
dibawa guru TK-nya dulu. Alhasil, masuk SD tanpa ijasah TK (kalau sekarang
jelas tidak bisa). Lanjut lagi ya, sekolah SD di pemukiman padat orang jawa
muslim, membuatnya cukup fasih berbahasa jawa waktu itu. Prestasi ada tidak?
Kala itu ada. Juara I tidak pernah lepas dari jemari kecilnya. Tapi, itu dulu,
hanya sampai kelas 2 SD saja. Karena kelas 3 SD sampai SMA tidak pernah lagi mendapatkan
itu. Mungkin karena tidak pintar, tapi kebetulan saja wali kelasnya salah tulis
angka. Hahahahaha, begitu dia ketawa saat mendengar kata itu dari teman-tema
sekelasnya dulu. Sambung terus ke jenjang perguruan tinggi, disini kisahnya
dipercepat saja. Kuliah biasa dari semester satu sampai semester sembilan. Nah,
kisah prustasinya (bukan prestasi lho). Itu terjadi saat semester 6 akhir,
bukannya belajar dengan rajin dia malah buat anak dengan giat (dilarang ditiru,
kecuali kepepet). Dia akhirnya menikahi teman satu kelas dan satu jurusan.
Heboh banget, gimana tidak. Dia adalah
ketua HMJ (ketua kelas versi sekolahan). Harusnya jadi teladan malah jadi
telat-telatan. Saya percepat lagi, masuk gigi empat nih. Dia akhirnya nikah, kerja
dan sambil kuliah. Selesai kuliah S-2 (keren ga?) langsung pergi jauh. Orang
Bali bilang, kalau keluar bali itu namanya jauh. Dia malah berpikir cari kerja
pulau yang waktu belajar IPS dulu termasuk pulau asing, aneh, sepi, gersang.
Pulau yang tidak sesuai dengan penjelasan di buku IPS saya dulu. Kata dia,
pulau itu surga. Indah, sejuk (malah dingin sekali). Meninggalkan istri dan
seorang anak yang dikasihi, dia merantau tidak jelas. Bahkan kini merantau lagi
di pulau paling kaya (bukti sejarah pulau ini diduduki Belanda, Inggris dan
Jepang). Ya apa lagi kalau bukan Jawa. Di jaman kerajaan Singosari dulu, di
Kota Malang. Merintis tambahan ilmu untuk bekal bukan hari tua-bekal cari bekal saja. Ya jelaslah,
dia masih cukup muda diantara teman sejawat yang menempuh studi S-3 di salah
satu Universitas Negeri. Apakah dia akan kembali prustasi??? Saya kira tidak,
dia pasti tambah prustasi sekali. Dengan prustasi itu, dia akan menjadi
profesor yang membanggakan almarhum ibunya-Ni Nyoman Nyandrin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar