PERBERDAYAAN PROFESI GURU PENDIDIKAN DASAR DALAM RANGKA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN NASIONAL
OLEH
DEK NGURAH LABA LAKSANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
Krisis multidimensional yang melanda Indonesia membuka mata kita terhadap mutu sumber daya manusia (SDM) kita, dan dengan sendirinya juga terhadap mutu pendidikan yang menghasilkan SDM itu. Faktor penyebab krisis memang kompleks, tapi penyebab utama adalah SDM kita yang kurang bermutu. SDM kita belum cukup profesional, belum memiliki keterampilan managerial yang andal. Supaya investasi dalam pengembangan manusia dapat berhasil, kita harus mengatur kembali dunia pendidikan kita, bukan secara tambal sulam melainkan secara menyeluruh dan mendasar. Kita membutuhkan satu pembaharuan di bidang pendidikan, menggeser serta mengubah paradigma yang keliru.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Krisis multidimensional yang melanda Indonesia membuka mata kita terhadap mutu sumber daya manusia (SDM) kita, dan dengan sendirinya juga terhadap mutu pendidikan yang menghasilkan SDM itu. Faktor penyebab krisis memang kompleks, tapi penyebab utama adalah SDM kita yang kurang bermutu. SDM kita belum cukup profesional, belum memiliki keterampilan managerial yang andal. Supaya investasi dalam pengembangan manusia dapat berhasil, kita harus mengatur kembali dunia pendidikan kita, bukan secara tambal sulam melainkan secara menyeluruh dan mendasar. Kita membutuhkan satu pembaharuan di bidang pendidikan, menggeser serta mengubah paradigma yang keliru.
Tentunya, yang menjadi palang pintu dalam melahirkan pendidikan yang berkualitas adalah guru. Dahulu jabatan guru mungkin baru sekedar sebagai tenaga pengajar. Dan hasilnya barang tentu sudah bisa kita lihat. Pendidikan di Indoensia masih kalah jauh dengan Negara tetangga, sebut saja Malaysia, Singapura, dan Thailand dan jangan dulu kita membandingkan dengan Negara maju lainnya. Untuk itu, perombakan yang penulis sampaikan tadi harus segera dilakukan untuk membenahi pendidikan di Indonesia secara menyeluruh mulai dari pendidikan dasar.
Jelas bahwa guru di sini memiliki peran yang strategis dalam bidang pendidikan, bahkan sumberdaya pendidikan lain yang memadai seringkali kurang berarti apabila tidak disertai dengan kualitas guru yang memadai. Begitu juga yang terjadi sebaliknya, apabila guru yang berkualitas kurang ditunjang oleh sumberdaya pendukung yang lain yang memadai, juga dapat menyebabkan kurang optimalnya kinerja. Dengan kata lain, guru merupakan ujung tombak dalam upaya peningkatan kualitas layanan dan hasil pendidikan. Untuk itu, peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan melalui upaya peningkatan kualitas guru melalui pembaharuan pendidikan.
Pembaharuan pendidikan adalah perbaikan yang terencana dalam sistem pendidikan yang ditujukan pada pelaksanaan pendidikan atau pengajaran, pemanfaatan sumber berlajar, dan pengorganisasian pengajaran yang tujuannya mengupayakan peningkatan hasil belajar siswa. Pelaksanaannya terjabar secara teknis dan nyata dilaksanakan dalam kawasan yang terbatas yaitu meningkatkan hasil belajar peserta didik. Sedangkan reformasi pendidikan adalah kumpulan dari sejumlah inovasi pendidikan yang berusaha mengatasi suatu masalah pendidikan yang cukup besar, dilaksanakan secara luas, meliputi keseluruhan sistem pendidikan, dan kemungkinan termasuk masalah di luar lingkup pendidikan.
Pembaharuan ini hanya bisa terjadi jika guru mampu memberdayakan dirinya sampai pada tingkat professional seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Guru dan Dosen No 20 Tahun 2003. Pemberdayaan profesi guru untuk menuju perubahan dan pembaharuan pendidikan inilah yang akan penulis bahas dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masasalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah kondisi pendidikan dasar di Indonesia?
2. Upaya apa yang dilakukan untuk melakukan pemberdayaan profesi guru pendidikan dasar?
3. Bagaimana pembaharuan sistem pendidikan dilakukan sebagai wujud aktualisasi profesi guru?
1.3 Tujuan Penulisan
Sejalan dengan rumusan masalah yang diuraikan di atas, maka tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui kondisi pendidikan dasar di Indonesia.
2. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan untuk memberdayakan profesi guru pendidikan dasar.
3. Untuk mengetahui bagaimana pembaharuan sistem pendidikan dilakukan sebagai wujud aktualisasi profesi guru.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kondisi Pendidikan Dasar di Indonesia
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “berkembangnya potensi peserta didik agarmenjadi man usia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YangMaha Esa, berakhlakmulia, sehat, berllmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Berdasarkan rumusan tersebut jelas bahwa tujuan pendidikan di Indonesia yang utama adalah mengembangkan segenap potensi yang dimiliki peserta didik sebagai manusia Indonesia agar bisa berkembang menjadi sosok yang seutuhnya. Rumusan tujuan pendidikan tersebut bisa menimbulkan problem pendidikan apabila tujuan yang dicanangkan semula tidak dapat wujudkan. Sebagai contoh tidak semua anak usia sekolah bisa bersekolah, padahal idealnya semua berhak mendapatkan pendidikan sekolah tanpa diskriminasi sebagaimana amanat konstitusi. Contoh lain, sebagian besar peserta didik yang telah lulus sekolah menengah umum dan tidak melanjutkan sekolah umumnya kurang terampil dalam kehidupan sehari-hari, jika melamar pekerjaan mereka kurang memenuhi persyaratan yang ditentukan dan kurang mandiri.
Munculnya problem pendidikan selain bersumber dari tujuan pendidikan, juga dapat bersumber dari terjadinya perubahan sosial budaya yang semakin cepat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan struktur pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi, pergeseran nilai, dan pengaruh globalisasi. Paling tidak secara eksplisit bisa diidentifikasi hal-hal yang dapat dirasakan sebagai pemicu adanya problem yaitu: Pertama, bahwa perjalanan kehidupan suatu bangsa mengalami lika-liku yang beraneka ragam. Bahkan lika-liku perjalanan suatu bangsa tersebut terkadang menghadapi suatu hal sulit diduga serta belum pernah dikenali sebelumnya. Sehingga hal-hal baru yang datangnya sulit dikenali sebelumnya itu membutuhkan upaya baru pula dalam menghadapinya atau mengatasinya. Misalnya, problem pendidikan anak-anak yang terlantar akibat kerusuhan antar etnis di Ambon, Sampit, serta Poso, yang sebelumnya tidak pernah diperkirakan. Hal ini membutuhkan suatu kebijakan pemerintah yang tepat untuk mengatasi problem baru tersebut. Kedua, adanya tuntutan (expectation) yang lebih tinggi dari sekedar yang ada selama ini. Misalnya, akibat minimnya kesejahteraan guru yang berefek pada kandasnya upaya peningkatan mutu lulusan pendidikan, membutuhkan terobosan kebijakan baru dari pemerintah dalam menaikkan anggaran pendidikan khususnya gaji guru.
Problem yang dihadapi oleh masing-masing bangsa sangat beragam dengan bobot kesulitan yang beragam pula. Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa di dunia juga menghadapi problem pendidikan. Menurut Suryati Sidharto (dalam Rohman, 2009), problem yang dihadapi bangsa Indonesia mencakup lima pokok problem, yaitu: 1) Pemerataan pendidikan, 2) Daya tampung pendidikan, 3) Relevansi pendidikan, 4) Kualitas pendidikan, dan 5). Efisiensi dan efektifitas pendidikan.
Problem pemerataan pendidikan muncul karena dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan bahwa semua warga negara berhak mendapatkan pengajaran/ pendidikan. Amanat dasar dari bunyi UUD 1945 tersebut memaksa kepada pemerintah untuk dapat menyediakan layanan pendidikan seluas-luasnya kepada semua warga negara dengan tanpa ada diskriminasi. Minimal pemerintah harus bisa mengentaskan semua warganya untuk bisa mencapai tingkat pendidikan menengah di era awal milenium ketiga.
Lebih-lebih setelah dicanangkan pemberian kesempatan pendidikan seluas-luasnya pada Konferensi Pendidikan untuk Semua (Education for All) di Thailand tahun 1990, semakin memberikan daya dorong bagi pemerintah untuk membuka layanan pendidikan kepada seluruh warganya agar bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.
Problem daya tampung pendidikan juga dimiliki bangsa Indonesia terutama sejak tahun 1960-an kemudian problemnya baru dirasakan pada tahun 1970-an sampai sekarang. Problem daya tampung adalah problem yang berkaitan dengan tingginya jumlah anak usia sekolah yang kurang diimbangi dengan ketersediaannya jumlah sekolah yang ada. Sehingga tidak semua anak usia sekolah bisa ditampung masuk bangku sekolah.
Problem relevansi pendidlkan dirasakan bangsa Indonesia ketika terjadi ketidak-cocokan atau ketidak-sesuaian antara isi pendidikan dengan realitas kebutuhan masyarakat. Problem relevansi ini antara lain ditandai dengan rendahnya rate ofre-turn lulusan sekolah. Dengan kata lain, para lulusan sekolah masih memiliki tingkat yang sangat rendah dalam hal adaptasi dengan tuntutan dunia kerja. Akibatnya banyak lulusan sekolah kita yang tidak dapat diserap oleh dunia kerja.
Problem kualitas pendidikan juga tidak kalah ruwetnya dibanding problem yang disebut sebelumnya yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Indikator paling nyata dari rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah rendahnya perolehan hasil ujian belajar siswa. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan perolehan Nilai Ebtanas Murni (NEM) atau Ujian Akhir Nasional (UAN) siswa untuk semua jenjang sekolah masih tergolong rendah (Ace Suryadi dan HAR Tilaar dalam Sa’ud, 2009).
Sedangkan problem efisiensi dan efektifitas pendidikan merupakan suatu problem yang memiliki cakupan sangat luas. Efslensi pendidikan adalah tercapainya maksimalisasi tujuan pendidikan dengan pengorbanan yang minimal. Atau tercapainya tujuan pendidikan tanpa ada suatu pemborosan. Sedangkan efektifitas pendidikan adalah tercapainya tujuan pendidikan secara baik dan memadai. Dengan demikian apabila suatu pendidikan dapat berlangsung secara efisien dan efektif, berarti tujuan pendidikan dapat dicapai dengan bagus dan terlaksana tanpa adanya pengorbanan.
Permasalahan pendidikan dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori. Kategori problem pendidikan yang bisa diberikan adalah kategori: substansial, manajerial, dan operasional. Ketiganya memiliki dimensi yang berbeda tetapi saling terkait. Kategori substansial, yaitu problem-problem pendidikan yang berkaitan dengan hal-hal pokok seperti: konsep sosok manusia yang diidealkan yang ingin diwujudkan oleh pendidikan? Bagaimana konsep manusia utuh itu? Pemantapan sistem pendidikan nasional yang seperti apa? Konsep anak cerdas yang sepert apa? Makna keunggulan sekolah? Mutu pendidikan apa ukurannya pokoknya? Kategori manajerial, yaitu problem-problem pendidikan yang berkaitan dengan manajemen pengelolaan, seperti: ketimpangan manajemen pendidikan antara pusat dan daerah, distribusi pendanaan pendidikan yang kurang adil, tidak meratanya penyebaran lokasi sekolah yang menyebabkan rendahnya pemerataan pendidikan, rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan, rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan dan pelatihan, kelembagaan pendidikan dan pelatihan yang kaku dan simpang siur, ketimpangan kewenangan kepengawasan oleh beragam instansi tehadap penyelenggaraan sekolah, penataan birokrasi pendidikan yang amat gemuk dan terlalu hirarkhis, penggunaan pendekatan pembelajaran yang kurang tepat, tata manajemen kelas yang timpang, dan lain-lain. Kategori operasional, yaitu problem-problem pendidikan yang berkaitan dengan kesemrawutan sistem administrasi sekolah, tumpang tindihnya antara kegiatan intra dan ekstra di sekolah, kekurangan sarana dan prasaranan pendidikan di sekolah, serta tingginya angka putusnya sekolah.
2.2 Upaya Perberdayaan Profesi Guru Pendidikan Dasar
a. Sertifikasi Guru Sekolah Dasar
Guru merupakan suatu profesi yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai seorang guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan. Untuk menjadikan guru sebagai sebuah profesi, maka guru harus memiliki pemahaman tentang pembelajaran, kurikulum, dan perkembangan manusia termasuk gaya belajar (Kariman dalam Uno, 2009). Selain itu, guru juga harus memiliki tiga kompetensi keprofesionalan yang meliputi kompetensi pribadi, kompetensi sosial, kompetensi professional mengajar. Untuk mewujudkan keprofesionalan guru tersebut, maka setiap guru harus layak disebut pendidik professional jika sudah tersertifikasi. Sertifikasi guru tersebut merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan Dosen (UUGD).
Dengan tersertifikasinya guru maka diharapkan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran akan meningkat sesuai standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan kompetensi guru yang memenuhi standar minimal dan kesejahteraan guru memadai (mendapatkan tunjangan profesi) diharapkan juga kinerja guru dalam mengelola proses pembelajaran dapat meningkat kualitasnya. Kualitas pembelajaran yang meningkat ini diharapkan akan berujung pada terjadinya peningkatan prestasi hasil belajar peserta didik. Secara skematis, logika berpikir dan bernalar tentang kedudukan pelaksanaan sertifikasi guru dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan.

Gambar 1. Kedudukan Sertifikasi dalam Kerangka Peningkatan Mutu Pendidikan
(Sumber: dimodifikasi dari Uno, 2009)
Sertifikasi guru bertujuan untuk menentukan tingkat kelayakan seorang guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran di sekolah. Adapun manfaat sertifikasi guru dalam kerangka peningkatan kualitas layanan dan hasil pendidikan adalah sebagai berikut. Pertama, melindungi profesi guru dari praktek-praktek layanan pendidikan yang tidak kompeten sehingga dapat merusak citra profesi guru itu sendiri. Kedua, melindungi masyarakat dari praktek-praktek pendidikan yang tidak berkulitas dan professional yang akan dapat menghambat upaya peningkatan kualitas pendidikan dan penyiapan sumber daya manusia. Ketiga, menjadi wahana penjaminan mutu bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan yang bertugas mempersiapkan calon guru dan juga berfungsi sebagai control mutu bagi pengguna layanan pendidikan. Keempat, menjaga lembaga penyelenggara pendidikan dari keinginan internal dan tekanan eksternal yang potensial dapat menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku.
b. Pendidikan Profesi Guru untuk Guru Sekolah Dasar
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional diperoleh melalui pendidikan profesi. Sementara itu penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus (Samani, 2010).
Tujuan yang ingin dicapai dalam dua Undang-Undang tersebut, secara tegas disebutkan bahwa seorang guru adalah sebuah profesi yang harus dijalankan secara professional. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini di jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Pendidikan profesional harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Kualifikasi akademik yang dimaksud adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik, sedangkan kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan usia dini, dasar, dan menengah meliputi empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial, yang diperoleh pada Program Pendidikan Profesi Guru (PPG), setelah yang bersangkutan memiliki kualifikasi akademik setingkat sarjana (S1) atau Diploma empat (D4). Sesuai dengan kerangka acuan aspek legal sistem pendidikan nasional, mereka yang memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1) pendidikan (S.Pd) yang mengikuti Pendidikan Profesi Guru dengan model bersamaan (concurrent), diharapkan dapat memiliki kompetensi akademik dan kompetensi profesional, yang berpeluang besar untuk dapat melahirkan guru-guru yang profesional (Dantes, 2010).
Kompetensi akademik dan kompetensi profesional yang dimaksud mengacu pada UU No. 20/2003 Pasal 3 (dalam Samani, 2010), tujuan umum program PPG adalah menghasilkan calon guru yang memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan khusus program PPG seperti yang tercantum dalam Permendiknas No 8 Tahun 2009 Pasal 2 (dalam Samani, 2010) adalah untuk menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran; menindaklanjuti hasil penilaian, melakukan pembimbingan, dan pelatihan peserta didik serta melakukan penelitian, dan mampu mengembangkan profesionalitas secara berkelanjutan.
Menjadi guru yang profesional yang ditunjukkan dengan kapasitas yang sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 maupun Permendiknas No 8 Tahun 2009 mungkin dapat menjadikan pendidikan di Indonesia khususnya pada jenjang pendidikan dasar tidak akan menjadi sekedar impian saja. Namun tidaklah mudah dalam menggapai impian ini, tentunya, perlu komitmen dan kerja keras serta kesungguhan yang tinggi untuk menjadikan tenaga pendidik yang berkualitas.
c. Pembelajaran yang Inovatif
Perberdayaan profesi guru juga dapat dilakukan dengan mengintegrasikan model-model pembelajaran inovatif dalam setiap kegiatan pembelajaran. Pembaharuan dalam pembelajaran mutlak dilakukan karena pada dasarnya tujuan utama pendidikan adalah memanusiakan manusia. Dengan demikian pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, serta menjadi anggota masyarakat yang berguna. Manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiannya dan mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Metode pendidikan yang paling tepat adalah sistem among yaitu metode pembelajaran yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (Dantes, 2008).
Metode-metode pendidikan yang bersifat konvensional dan tradisional yang sangat berorientasi kuantitatif dan menyandarkan pada pemahaman pengetahuan semata, perlu segera untuk ditinggalkan karena dianggap tidak dapat membekali peserta didik dengan kompetensi yang diperlukan dalam kehidupan. Dengan demikian, pendidikan yang dikehendaki dewasa ini adalah pendidikan yang berlangsung secara kontekstual. Pendidikan kontekstual dicirikan oleh proses pembelajaran yang diarahkan pada pemecahan masalah, menggunakan konteks yang bervariasi, menghargai keberagaman individu, mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning), menggunakan kelompok belajar secara kooperatif, dan menggunakan asesmen otentik (Clifford dan Wilson dalam Dantes, 2008).
Tindak lanjut pertama dari orientasi tersebut sudah tentu adalah reorientasi pada kurikulum, dari kurikulum tradisional yang cenderung subject-matter oriented menuju kepada competency-based. Sesuai dengan hakikat kurikulum berbasis kompetensi, maka pembelajaran harus berpusat pada peserta didik dan bersifat kontekstual. Model-model pembelajaran inovatif yang berbasis kompetensi dan asesmen otentik menjadi tulang punggung untuk menyukseskan kurikulum berbasis kompetensi.
i. Pembelajaran yang Berpusat pada Peserta Didik
Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik atau Student Centre Learning (SCL) dilandasi oleh paham konstruktivisme. Konstruktivisme berarti bahwa peserta didik membangun (to construct) pemahamannya tentang dunia. Berbicara mengenai konstruktivisme bukanlah berbicara tentang suatu teknik tertentu dalam pembelajaran, melainkan kita berpikir tentang proses perolehan pengetahuan dan asesmennya. Ada dua kata kunci dalam konstruktivisme, yaitu aktif (active) dan makna (meaning). Perbedaan antara pembelajaran SCL dengan pembelajaran yang berpusat pada guru dan berorientasi pencapaian materi, sebagai berikut.
Teacher Centered | Student-Centered Learning |
Pengetahuan ditransfer dari guru ke peserta didik | Peserta didik secara aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya |
Peserta didik menerima pengetahuan secara pasif | Peserta didik secara aktif terlibat didalam mengelola pengetahuannya |
Lebih menekankan pada penguasaan materi | Penguasaan materi dan juga mengembangkan karakter peserta didik (life-long learning) |
Biasanya memanfaatkan media tunggal | Multimedia |
Fungsi guru sebagai pensuplai informasi utama dan evaluator | Guru sebagai fasilitator, evaluasi dilakukan bersama dengan peserta didik |
Proses pembelajaran dan asesmen dilakukan secara terpisah | Terpadu dan berkesinambungan |
Cocok untuk pengembangan ilmu dalam satu disiplin saja | Untuk pengembangan ilmu interdisipliner |
Iklim belajar lebih individual dan kompetitif | Iklim yang tercipta lebih bersifat kolaboratif, suportif, dan kooperatif |
Penekanan pada ketuntasan materi | Penekanan pada pencapaian target kompetensi |
Penekanan pada cara pembelajaran yang dilakukan oleh guru | Penekanan pada bagaimana cara peserta didik belajar. Penekanan pada problem-based learning dan skill competency |
(Sumber: Dantes, 2008)
ii. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
Di bawah pengaruh perspektif konstruktivis, pembelajaran yang dianggap dapat menjawab tantangan pendidikan global sekarang ini (pendidikan yang bermakna, bukan pendidikan yang membebani hidup) adalah pembelajaran yang bersifat kontektual. CTL adalah strategi pembelajaran yang menghubungkan antara konten pelajaran dengan situasi kehidupan nyata, dan mendorong peserta didik mengaitkan antara pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya di sekolah dengan kehidupannya sebagai anggota keluarga, warganegara, dan dunia kerja.
Bagi peserta didik, proses pembelajaran tradisional yang menekankan pada pengetahuan abstrak/konseptual lebih pasif daripada pembelajaran yang kontekstual. Pada proses pembelajaran tradisional tersebut, peserta didik diharapkan untuk memahami dan menyusun informasi dalam pikirannya melalui kegiatan mendengarkan guru dan membaca materi yang ditugaskan. Sesuai dengan itu, maka metode pengajaran lebih berpusat pada guru. Tidak semua peserta didik memiliki kemampuan untuk menyerap iformasi secara abstrak, oleh karena itu banyak peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar. Juga banyak yang lulus sekolah tetapi tidak mampu berada di masyarakat sebagai anggota yang bermutu.
Pembelajaran inovatif memiliki keunggulan dibandingkan pembelajaran konvensional. Guru tidak lagi sebagai pusat pembelajaran, guru tidak lagi menjejalkan materi kepada siswa, tapi sudah saatnya siswa yang lebih banyak aktif dan materi yang diberikan harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Dengan demikian guru harus segera memperbaiki kualitas kompetensi dalam mengaplikasikan metode pembelajaran. Pemberdayaan profesi guru dalam hal kompetensi metode pembelajaran dengan penggunaan pembelajaran inovatif diharapkan mampu memperbaiki kualitas pendidikan dasar.
2.3 Pembaharuan Sistem Pendidikan sebagai Wujud Aktualisasi Profesi Guru
Pembaharuan pendidikan adalah perbaikan yang terencana dalam sistem pendidikan yang ditujukan pada pelaksanaan pendidikan atau pengajaran, pemanfaatan sumber belajar, dan pengorganisasian pengajaran yang tujuannya mengupayakan peningkatan hasil belajar siswa. Pelaksanaannya terjabar secara teknis dan nyata dilaksanakan dalam kawasan yang terbatas yaitu meningkatkan hasil belajar peserta didik.
Pembaharuan pendidikan ini sengaja diciptakan oleh atasan sebagai usaha untuk meningkatkan mutu atau pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendidikan, ataupun sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi dan sebaginya. Pembaharuan seperti ini dilakukan dan diterapkan kepada bawahan dengan cara mengajak, menganjurkan dan bahkan memaksakan apa yang menurut pencipta itu baik untuk kepentingan bawahannya.
Beberapa kasus pembaharuan pendidikan telah dilakukan oleh Depdiknas antara lain pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Sekoloh Menengah Pertama (SMP) terbuka, Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Guru Pamong, Sekolah Persiapan Pembangunan, Guru Pamong, Sekolah kecil, Sistem Pengajaran Modul, Sistem Belajar jarak jauh, dan lain-lain. Namun aneka pembaharuan yang dilakukan Depdiknas bekerjasama dengan lembaga-lembaga asing seperti British Council, USAID, Unesco, UNICEF, jICA, ADB, World Bank, dan lain-lain banyak yang tidak bertahan lama. Pembaharuan pendidikan yang dilakukan Depdiknas yang bekerjasama dengan lembaga-lembaga asing yang hanya berjalan singkat tersebut merupakan upaya pembaharuan pendidikan yang berstatus sebagai proyek. Tidak sedikit upaya pembaharuan pendidikan tersebut mendapat penolakan (resistance) saat sosialisasi. Penolakan bukan hanya datang dari warga sekolah selaku ujung tombak pelaksana pembaharuan, tapi juga para pemerhati dan tenaga birokrasi di Depdiknas propinsi dan kabupaten.
Pada sisi lain, sebenarnya ada model pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh guru, kepala sekolah, komite sekolah, dan lain-lain yang dikenal dengan model “bottom-up innovation”. Padahal model pembaharuan yang demikian kerapkali lebih berhasil, mengingat pembaharuan tersebut berangkat dari problem rill di lapangan serta muncul dari mereka yang melakukan sendiri sehingga lebih efisien waktu, tenaga, dan biaya. Sementara pembaharuan pendidikan yang sentralistik terlalu birokratis, berlangsung lama, melibatkan banyak orang, dan membutuhkan biaya tidak sedikit.
Oleh karena itu, White (dalam Rohman, 2009) menguraikan bahwa ada beberapa aspek yang bekaitan dengan pembaharuan pendidikan yaitu tahapan-tahapan dalam pembaharuan, karakteristik inovasi, manajemen inovasi dan sistem pendekatannya. Chin dan Benne (Idris dalam Rohman, 2009) menambahkan bahwa strategi pembaharuan pendidikan mencakup tiga jenis strategi, yaitu: pemaksaan (power coercive), empirik rasional (rational empirical), dan pendidikan yang berulang secara normatif (normative re-educative).
1. Strategi pemaksaan (power coercive)
Strategi pembaharuan ini adalah strategi pemaksaaan berdasarkan kekuasaan. Strategi menganut suatu pola yang sangat bertentangan dengan kaidah-kaidah pembaharuan. Strategi ini cenderung memaksakan kehendak, ide dan pikiran sepihak tanpa menghiraukan kondisi dan keadaan serta situasi yang sebenarnya dimana pembaharuan akan dilaksanakan. Kekuasaan memegang peranan yang sangat kuat pengaruhnya dalam menerapkan ide-ide baru dan perubahan sesuai dengan kehendak dan pikiran-pikiran dari pencipta pembarunya. Pihak pelaksana yang sebenarnya merupakan obyek utama dari inovasi itu sendiri sama sekali tidak dilibatkan baik dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya. Para pembaharu hanya menganggap bahwa pelaksana sebagai obyek semata dan bukan sebagai subyek yang juga harus diperhatikan dan dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan dan pengimplementasiannya.
2. Strategi Empirik Rasional (rational empirical)
Strategi empirik rasional (rational empirical) ini berangkat dari asumsi dasar bahwa manusia mampu menggunakan pikiran logisnya atau akal sehatnya sehingga mereka akan bertindak sesuai dengan pilihan rasionalnya. Dalam kaitan dengan ini pembaharu bertugas mendemon-strasikan pembaharuannya dengan menggunakan metode yang terbaik untuk memberikan manfaat bagi penggunanya. Di samping itu, startegi ini juga didasarkan atas pandangan yang optimistik seperti apa yang dikatakan oleh Bennis, Benne, dan Chin yang dikutip dari Cece Wijaya dkk (Idris HM. Noor, www.depdiknas.go.id).
Di sekolah, para guru menciptakan strategi atau metode mengajar yang menurutnya sesuai dengan akal yang sehat serta relevan dengan situasi dan kondisi bukan berdasarkan pengalaman guru tersebut. Di berbagai bidang, para pembaharu melakukan perubahan dan inovasi untuk bidang yang ditekuninya berdasarkan pemikiran, ide, dan pengalaman dalam bidangnya itu, yang telah digeluti berbualan-bulan bahkan bertahun-tahun. pembaharuan yang demikian memberi dampak yang lebih baik dari pada model pembaharuan yang pertama. Hal ini disebabkan oleh kesesuaian dengan kondisi nyata di tempat pelaksanaan pembaharuan tersebut.
3. Strategi Pendidikan yang Berulang Secara Normatif (normative re-educative)
Strategi pendidikan yang berulang secara normatif (nor-mative re-educative) ini adalah suatu strategi pembaharuan yang didasarkan pada pemikiran para ahli pendidikan seperti Sigmund Freud, John Dewey, Kurt Lewis dan beberapa pakar lainnya (Cece Wijaya (1991), yang menekankan bagaimana pelaku memahami seluk beluk pembaharuan seperti perubahan sikap, skill, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan manusia.
Dalam pendidikan, sebuah strategi bila menekankan pada pemahaman pelaksana dan penerima pembaharuan, maka pelaksanaan pembaharuan dapat dilakukan berulang kali. Misalnya dalam pelaksanaan perbaikan sistem belajar mengajar di sekolah, para guru sebagai pelaksana pembaharuan berulang kali melaksanakan perubahan-perubahan itu sesuai dengan kaidah-kaidah pendidikan. Kecenderungan pelaksanaan model yang demikian agaknya lebih menekankan pada proses mendidik dibandingkan dengan hasil dari perubahan itu sendiri. Pendidikan yang dilaksanakan lebih mendapat porsi yang dominan sesuai dengan tujuan menurut pikiran dan rasionalitas yang dilakukan berkali-kali agar semua tujuan yang sesuai dengan pikiran dan kehendak pencipta dan pelaksananya dapat tercapai.
Pembaharuan pendidikan dilakukan dalam rangka memecahkan problem pendidikan. Ada tiga kelompok besar problem pendidikan sebagaimana telah diungkapkan di atas yakni problem yang sifatnya substansial, manajerial, dan operasional. Masing-masing kelompok memiliki wujud prob¬lem yang bermacam-macam. Untuk itu paparan pembaharuan pendidikan berikut hanyalah sekedar contoh kiat pemerintah ataupun pihak-pihak lain dalam rangka memecahkan rumitnya problem pendidikan, yang dimulai sejak jaman dahulu sampai dewasa ini.
1. Pengajaran Alam Sekitar
Pengajaran alam sekitar merupakan suatu pembaharuan dalam pendekatan pembelajaran dari yang sudah ada sebelumnya. Pengajaran alam sekitar muncul sebagai upaya untuk menjawab problem tentang rendahnya mutu pembelajaran pada khususnya atau problem managerial pada umumnya. Pengajaran alam sekitar ini berupaya mendekatkan anak didik dengan lingkungan sekitarnya. Misalnya sebagai berikut, (a) Bahwa dalam pembelajaran anak harus mengetahui barangnya terlebih dahulu sebelum mendengar namanya, tidak kebalikannya; sebab kata itu hanya suatu tanda dari pengertian tentang barang itu. (b) Pembelajaran terhadap suatu materi ajar sesungguhnya harus mendasari pembelajaran selanjutnya, atau mata ajar yang lain harus dipusatkan atas itu. (c) Haruslah diadakan perjalanan memasuki hidup senyatanya ke semua jurusan, agar murid paham akan hubungan antar macam-macam lapangan dalam hidupnya (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994).
2. Pengajaran Pusat Perhatian
Pengajaran pusat perhatian ini merupakan jawaban atas problem segi manajerial. pembelajaran pusat perhatian ini berusaha mengembangkan pembelejaran melalui pusat-pusat minat. Seorang siswa harus dididik untuk dapat hidup dalam masyarakat dan dipersiapkan dalam masyarakat. Anak harus diarahkan kepada pembentukan sebagai individu sekaligus sebagai anggota masyarakat.
Dunia ini terdiri dari alam dan kebudayaan, harus bisa hidup dan mengembangkan kemampuannya untuk mencapai cita-cita. Oleh karena itu ia harus mempunyai pengatahuan atas diri sendiri dan dunianya; pengetahuan anak harus bersifat subyektif dan obyektif. Ada dua metode dalam pengajaran yang sangat berguna bagi pendidikan, (a) motode global, dan (b) metode pusat pusat minat. Metode global (keseluruhan) adalah metode pembelajaran yang menekankan keseluruhan terlebih dahulu dan pada bagian per bagian. Hal ini sesuai dengan prinsip psikologi Gestalt. Sedangkan metode pusat-pusat minat adalah metode pembelajaran yang disesuaikan dengan minat-minat spontan anak. Pembelajaran yang hanya didasarkan minat yang timbulkan oleh guru umumnya kurang berhasil. Minat-minat spontan anak misalnya: dorongan mempertahankan diri, dorongan mencari makan dan minum, dorongan memelihara diri, dorongan untuk selalu bermain, dorongan meniru orang lain (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994).
3. Sekolah Kerja
Gerakan sekolah kerja merupakan salah satu upaya terobosan untuk memecahkan prbolem kurkulum pendidikan khususnya dan problem operasional umumnya. Sekolah kerja ini dapat dipandang sebagai. titik kulminasi dari pandangan-pandangan yang mementingkan pendidikan ketrampilan. Pendidikan menekankan mengembangkan pikiran, ingatan, bahasa, dan tangan.
Bahwa sekolah kerja itu bertolak dari pandangan bahwa pendidikan itu tidak hanya demi kepentingan individu semata tetapi juga demi kepentingan masyarakat. Dengan kata lain, sekolah berkewajiban menyiapkan warga negara yang balk, yakni: (a) tiap-tiap orang adalah pekerja dalam salah satu lapangan jabatan, (b) tiap orang wajib menyumbangkan tenaganya untuk kepentingan negara, dan (c) dalam menunaikan kedua tugas tersebut haruslah selalu diusahakan kesempurnaannya agar dengan jalan itu tiap warga negara ikut membantu mempertinggi dan menyempurnakan kesusilaan serta keselamatan negara (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994).
Dari pertimbangan-pertimbangan itulah, maka sekolah kerja menurut Kerschensteiner bertujuan, (a) menambah pengetahuan anak, yaitu pengetahuan yang didapat dari buku atau orang lain, dan yang didapat dari pengalamannya sendiri; (b) agar anak dapat memiliki ketrampuan dan kemahiran tertentu; (c) agar anak dapat memiliki pekerjaan
4. Pengajaran Proyek
Landasan filosafis dari pengajaran proyek adalah bahwa sekolah haruslah menjadi mikro-kosmos dari masyarakat (become a microcosm of society). Oleh karena itu pendidikan adalah suatu proses kehidupan itu sendiri dan bukannya menyiapkan untuk kehidupan di masa depan.
Dalam pengajaran proyek ini anak bebas menentukan pilihannya merancang, serta memimpinnya atau melakukanya. Proyek yang ditentukan oleh anak, mendorongnya menjadi jalan pemecahan bila ia menemui kesukaran. Akhirnya anak dengan sendirinya giat dan aktif sebab rancangan yang telah disiapkan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Proyek itulah yang menyebabkan beberapa mata pelajaran itu menjadi tidak terpisahkan antara yang satu dengan lainnya (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994).
5. SMP Terbuka dan Universitas Terbuka
Berdirinya SMP terbuka dan universitas terbuka sebagai salah satu usaha pembaharuan pendidikan dalam rangka meningkatkan pendidikan bagi anak dan pemuda di Indonesia. Disamping karena faktor ekonomi juga dikarenakan letak sekolah dan kampus yang terlalu jauh dari rumah sehingga jarak tempuh dari rumah ke lokasi sekolah dan kampus tersebut menjadi lama.
SMP terbuka diperuntukkan untuk anak-anak usia sekolah yang belum bersekolah karena kesulitan ekonomi karena pagi harus bekerja membantu orang tua serta karena jarak tempat tinggalnya yang jauh dari kota. Universitas terbuka dibuat untuk menyediakan bagi orang yang sudah bekerja agar bisa meningkatkan lagi pengetahuan dan ketrampilannya melalui pendidikan di perguruan tinggi. Baik SMP terbuka maupun universitas terbuka menuntut peserta didik untuk mampu belajar mandiri melalui modul yang telah diberikan kepadanya.
6. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP ini dibuat dalam rangka memecahkan problem kompleks tentang kurikulum yang selalu berganti setiap bergantinya pejabat, tetapi selalu kurang tepat. Kebijakan berlakunya KTSP diharapkan bisa menyelesaikan problem tersebut dengan cara menyerahkan penyusunan dan pelaksanaan kurikulum kepada pihak satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.
Sesuai dengan panduan yang dibuat oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tahun 2006, KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut.
a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.. Untuk mendukung hal tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik.
b. Beragam dan terpadu. Kurikulum ini memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender.
c. Tanggap terhadap perkembangan Ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis. Untuk itu semangat dan isi kurikulum harus memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangannya perlu melibatkan stakeholders untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Untuk itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keharusan.
e. Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambung-an antarsemua jenjang pendidikan.
f. Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
g. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
h. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Beberapa menyebutkan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan. Pertama, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan dan diatur secara birokratik, sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada peraturan, instruksi, petunjuk pelaksana, dan berbagai keputusan birokrasi yang mempunyai jalur sangat panjang dan kadang kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian, sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk perbaikan mutu pendidikan yang merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Kedua, program pembangunan pendidikan lebih menekankan pada penyediaan input pendidlkan seperti guru, kurikulum, fasilitas pendidikan, buku dan alat peraga, serta sumber belajar lain, dengan asumsi bahwa peningkatan mutu pendidikan akan terjadi dengan sendirinya apabila in-put pendidikan dipenuhi. Penyediaan komponen standar minimal penyelenggaraan pendidikan memang penting, tetapi tidak dengan sendirinya akan meningkatkan mutu pendidikan. Ketiga, peran serta masyarakat khususnya orang tua dalam penyelenggaraan pendidikan kurang dioptimalkan. Pola pembangunan sistem pendidikan nasional telah menjauhkan lembaga pendidikan dari lingkungan masyarakatnya. Sebagai akibatnya, sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada orang tua, sebagai pihak pertama dan utama yang berkepentingan dengan kualitas penyelenggaraan pendidikan (main stakeholder). Atas dasar kelemahan tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan diubah orientasinya menuju kepada pemberdayaan sekolah sebagai basis terdepan kegiatan pembelajaran siswa melalui manajemen pendidikan berbasis sekolah (school based management) atau umum dikenal Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Dengan demikian sekolah diberi kewenangan dan keleluasaan dalam mengatur rumah tangganya sendiri yang antara lain tergambar ke dalam empat hal yaitu: (a) Sekolah sebagai lembaga pendidikan lebih mengetahui kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri dibanding lembaga lain, sehingga mereka dapat mengoptimalkan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan dirinya. (b) Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan diberdayakan dalam proses pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah dan tingkat perkembangan anak didiknya. (c) Sekolah dapat mempertanggungjawabkan kinerja dan mutu pendidikan yang dihasilkannya masing-masing kepada orang tua, masyarakat, pemerintah, dan pihak-pihak yang berkepentingan, dengan sendirnya sekolah akan berupaya seoptimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai target mutu pendidikan yang telah direncanakan. (d) Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah-sekolah lain dalam hal peningkatan mutu melalui aneka upaya inovatif dengan dukungan orang tua, masyarakat, pemerintah daerah setempat (Nurkolis, 2003).
7. Klinik Pembelajaran (KP)
Klinik Pembelajaran (KP) merupakan wadah yang dibuat oleh Direktorat Ketenagaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Depdiknas yang ditujukan kepada para guru untuk melakukan serangkaian kegiatan seperti refleksi, penemuan masalah, pemecahan masalah melalui beragam strategi untuk meningkatkan ketrampilan dalam mengelola pembelajaran. Strategi utama yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas. Karena merupakan wadah untuk dan milik bersama para guru, maka tempat ini dapat digunakan dengan bebas untuk berdiskusi, melakukan refleksi atau merenung tentang proses pembelajaran yang telah dijalani, bersimulasi, misalnya bagaimana cara mengajarkan suatu konsep dengan menyenangkan, dan membuat catatan bersama-sama dengan teman sejawat.
Keberadaan KP tersebut diharapkan dapat membuka wawasan peserta. Selanjutnya, dengan kasus-kasus pembelajaran yang dikumpulkan, diskusikan, dan dipecahkan bersama oleh peserta, akan mengasah kepekaan peserta terhadap permasalahan yang terjadi di kelas, sehingga rasa percaya diri dalam melaksanakan tugas sebagai guru meningkat. Dengan demikian, diharapkan kualitas proses pembelajaran akan lebih meningkat yang tentunya membawa dampak kepada kualitas siswa yang lebih baik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan pembahasan di atas, maka dapat dismpulkan beberapa hal terkait dengan pemberdayaan guru sekolah dasar diantaranya yaitu.
1. kondisi pendidikan dasar di Indonesia masih menemui banyak permasalahan. Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia mencakup lima pokok problem, yaitu: 1) Pemerataan pendidikan, 2) Daya tampung pendidikan, 3) Relevansi pendidikan, 4) Kualitas pendidikan, dan 5). Efisiensi dan efektifitas pendidikan.
2. Upaya-upaya yang dilakukan untuk melakukan pemberdayaan profesi guru pendidikan dasar adalah melalui sertifikasi guru sekolah dasar, pendidikan profesi guru untuk guru sekolah dasar, dan penggunaan model pembelajaran inovatif.
3. Pembaharuan sistem pendidikan yang dilakukan sebagai wujud aktualisasi profesi guru antara lain melalui strategi pembaharuan pendidikan yang mencakup tiga jenis strategi, yaitu: power coercive, rational empirical, normative re-educative.
3.2 Saran
Saran yang penulis berikan dalam makalah ini sebagai seorang guru yang merupakan sebuah jabatan profesi sudah semestinya untuk selalu melakukan peningkatan kualitas kompetensinya. Kualitas kompetensi hanya dapat dicapai jika dilakukan melalui perberdayaan profesi guru untuk menuju sebuah pembaharuan pendidikan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar