Jumat, 16 Oktober 2015

Essay

 MENUJU PENDIDIKAN BERKUALITAS DAN BERKELANJUTAN
DI ERA PEMBELAJARAN ABAD 21
Dek Ngurah Laba Laksana, Universitas Negeri Malang
Diikutkan dalam Lomba Essay Tingkat Nasional Tahun 2015 di UGM


Latar Belakang
Dalam sebuah sambutan kegiatan Pelepasan Guru Garis Depan, Presiden Indonesia Joko Widodo mengatakan perlunya pemerataan pelayanan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia (Litbang Kemdikbud, 2015). Tentunya ini adalah sebuah cita-cita yang agung dan mulia. Namun, apakah ini sesuatu yag terlambat? Mengingat kemerdekaan yang diperoleh 70 tahun silam merupakan durasi waktu sangat lama. Perlu juga diingat bahwa, pemerataan pendidikan sudah menjadi program prioritas dari kementerian pendidikan dari penguasa sebelum era Presiden Jokowi. Program ini dipertegas lagi dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2015, dimana prioritas utama dan sangat penting adalah meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan (Kompas, 2015).
            Bukan ingin menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia tidak mengalami perkembangan nyata. Namun, inilah yang dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia. Benar faktanya, jika kesejahteraan guru (khusus guru PNS) meningkat, lembaga pencetak guru meningkat, anggaran pendidikan meningkat. Peningkatan ini jelas baik untuk pengembangan pendidikan yang berkualitas.
Kenyataannya, bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia? Berbicara kualitas, tentunya kita berbicara input dan output. Telisik saja apa yang ada di sekolah-sekolah di Indonesia. Infrastruktur utama dan penunjang pendidikan belumlah merata. Contohnya, gedung sekolah dasar di Kota Denpasar, sangat megah, lantai dua, dan penuh fasilitas. Bagaimana dengan gedung sekolah dasar di salah satu Desa di Bali dengan gedung seadanya, rusak dan tidak layak untuk kegiatan pembelajaran (Balipost, 2015). Realita ini bahkan terjadi di pulau Bali, yang katanya pulau surga. Apalagi jika kita telisik lagi di provinsi timur Indonesia. Di NTT misalnya, ada puluhan ribu gedung sekolah yang tidak layak digunakan sebagai kegiatan pembelajaran (Flobamora, 2015).
Belum lagi jika kita kaitkan dengan paradigma pembelajaran abad 21, yang menekankan “Digital Technology Literacy” (Jansen & Petro, 2015). Maka fasilitas pendukung untuk mencapai literasi tersebut sudah menjadi sebuah kewajiban pemerintah. Ian (2011) juga mengungkapkan dengan dukungan literasi teknologi digital dapat melahirkan empat prinsip pembelajaran, yaitu:  (1) instruction should be student-centered; (2) education should be collaborative;  (3) learning should have context; dan (4) schools should be integrated with society.
Pemerintah sebagai regulator pelaksanaan pendidikan di Indonesia adalah penanggungjawab tunggal kemirisin ini. Bagaimana tidak, UUD 1945 pasal 31 menguatkan pelaku tunggal untuk memajukan pendidikan adalah pemerintah melalui, kementerian terkait serta guru dan dosen pencetak guru.

Ide Gagasan
            Kualitas pendidikan dilihat dari sejauhmana SDM mampu menghidupi kebutuhannya. Salah satu indikator yang berlaku secara internasional yaitu standar yang dikeluarkan oleh Badan Survey Internasional, PISA (Programme for International Student Assessment). Bukan rangking Indonesia yang dibahas disini (peringkat 65 dari 66 negara yang disurvey Tahun 2013). Tetapi bagaimana indikator survey itu, mencerminkan kualitas pendidikan di Indonesia. Dari indikator yang ada, tampaknya faktor guru, kurikulum dan fasilitas pembelajaran menjadi barometer yang harus dibenahi.
Guru, adalah garda utama yang berperan menterjadikan kelas belajar. Kurikulum, jembatan penghubung antara proses belajar dengan kompetensi yang dicapai. Fasilitas, menjadikan suasana menjadi belajar. Faktor guru dan kurikulum sudah dibenahi dan ditata sejak Indonesia merdeka. Ketentuan yang terbaru, guru wajib S-1 dan telah mendapatkan sertifikat pendidik. Kurikulum pun demikian, sudah dibenahi sampai memunculkan kurikulum 2013 yang masih dipending pemberlakuannya secara nasional.
Faktor yang ketiga, yaitu fasilitas menjadi satu hal yang tampaknya sulit dibenahi. Dan bagian inilah yang menjadi focus agar kualitas pendidikan bisa dioptimalkan. Fasilitas pembelajaran, tidak bisa dimaknai sempit sebagai sarana dan prasarana belajar saja. Tapi bagaimana guru dan kurikulum dapat memfasilitasi pebelajar untuk belajar (Molenda & Januszewski, 2008).
Masalah yang terjadi sekarang di Indonesia adalah, pemerataan dan akses pendidikan. Sangat sulit dengan melihat keadaan geografis Indonesia. Tapi ini bukanlah halangan, Sebut saja Negara Jepang. Dengan pulau-pulau dan pegunungan, tetapi Pendidikan disana termasuk dalam kategori maju (Washiyama, 2009). Atau luasnya wilayah Indonesia juga menjadi halangan? Ini juga bukanlah halangan. Negara Amerika dan Australia yang lebih luas dari Indonesia merupakan Negara dengan pendidikan maju (Laksana, 2015). Dengan melihat analisis tersebut, keadaan geografis dan luas wilayah, bukanlah penghambat dalam mencapai pendidikan yang bermutu dan berkulitas.
Strategi yang ditawarkan adalah pemerataan fasilitas belajar untuk setiap satuan pendidikan tanpa terkecuali. Standar fasilitas sarana dan prasarana harus sama, misalnya saja ketersediaan sumber belajar berbasis TIK, akses sumber belajar dari internet, perpustakaan digital, multimedia dan sebagainya. Ketersediaan alat penunjang pembelajaran, LCD Projector, komputer, fasilitas olahraga dan praktek. Kenyamaan belajar, mulai dari luas ruang belajar yang memungkinkan pebelajar melakukan aktivitas secara leluasa, laus permukaan meja belajar, tempat duduk yang nyaman. Fasilitas ini tentunya mendukung secara ergonomis kenyamanan belajar.
Tentunya fasilitas tersebut tidak hanya ada di sekolah swasta yang berlabel internasional atau sekolah negeri yang ada di pemerintahan dengan APBD triliunan. Fasilitas tersebut harus ada di seluruh dan di setiap satuan pendidikan. Baik itu sekolah yang berada di pedalaman sekalipun.
Nah, itu baru sebagian dari fasilitas untuk mendukung proses pembelajaran kearah yang lebih baik. Sebagian fasilitas juga dibutuhkan untuk SDM guru. Guru harus mendapatkan fasilitas untuk mengembangkan profesinya secara merata dan berkelanjutan. Kembali lagi, ini berlaku untuk setiap guru. Data kualitas awal guru dapat diketahui dari hasil uji kompetensi guru. Data awal inilah yang harus digunakan sebagai pemetaan kompetensi guru dan pelatihan profesi yang dibutuhkan.
Seperti apa yang menjadi program unggulan Di Inggris “equal access to quality education” yang dapat dimaknai pendidikan yang setara dalam paradigma pembelajaran abad 21. (Jansen & Petro, 2015; Ian, 2011). Hal ini dimaksudkan adalah adanya kesamaan fasilitas baik itu fasilitas fisik maupun fasilitas peningkatan mutu guru.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan adalah sebuah permainan sepakbola, dimana jika fasilitas latihan sudah terpenuhi, anggaran tanpa batas, dan mempunyai pemain-pemain bagus, tetapi tanpa seorang manajer yang handal, maka permainan tidak akan mendapatkan hasil optimal. Untuk itu, apa yang disajikan adalah sebuah penggalan untuk tahapan mencapai pendidikan dengan manajemen berbasis sekolah yang telah terbukti dapat meningkatkan hasil belajar (Heyward, Robert & Sarjono, 2011). Dan tetap memperhatikan pembuat kebijakan dengan memberikan fasilitas kesejahteraan bagi guru (Afrianto, 2014).

Analisis
            Disadari atau tidak, fasilitas untuk membelajarkan dan fasilitas untuk membuat belajar menjadi nyaman adalah yang utama. Inilah yang disebut dengan fasilitas fisik berupa infrastruktur sekolah. Serta fasilitas untuk penguatan mutu guru melalui program peningkatan profesionalitas guru.
Fasilitas adalah harga mati. Jika memang negara ingin membuat kemajuan yang setara, menyeluruh, dan holistic dalam dunia pendidikan kita. Lengkapnya sarana dan prasarana sekolah akan menuntun kegiatan belajar yang menjadi nyaman. Terjaminnya fasilitas guru dalam membelajarkan, akan menuntun mutu guru di kelas. Jika fasilitas ini memadai, melek digital juga terwujud, dan apa yang menjadi prinsip pembelajaran abad 21 juga dapat tercapai. Dengan demikian, Bangsa Indonesia dapat mencapai generasi emas Tahun 2045, yaitu generasi yang mempunyai creativity and innovation, critical thinking and problem solving, serta communication and collaboration.
Kemudian, apakah akan muncul pertanyaan, “bagaimana dengan anggaran?” sekali lagi, ini bukanlah hambatan, Undang-undang sudah menjamin 20% anggaran pendidikan dari jumlah anggaran nasional yang ada. Tinggal bagaimana Si-Manajer untuk memainkan perannya. Jalankan sesuai Undang-undang, tanpa terdengar lagi sandungan korupsi.



Kesimpulan
            Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1)  Fasilitas pembelajaran, tidak bisa dimaknai sempit sebagai sarana dan prasarana belajar saja. Tapi bagaimana guru dan kurikulum dapat memfasilitasi pebelajar untuk belajar. 2) Strategi yang ditawarkan adalah pemerataan fasilitas belajar untuk setiap satuan pendidikan tanpa terkecuali. 3) Guru harus mendapatkan fasilitas untuk mengembangkan profesinya secara merata dan berkelanjutan.

Daftar Pustaka
Afrianto. (2014). “Because teaching is like a plantation of dakwah”: Understanding Complexities in Choosing to be a Teacher in Indonesia. Australian Journal of Educational & Developmental Psychology, 14 (2014), pp. 51-59
Balipost. (2015). Banyak gedung sekolah rusak, Karangasem dapat DAK tertinggi di Bali [edisi 9 Juli 2015] Diunduh melalui www.balipost.com pada tanggal 6 Agustus 2015.
Flobamora. (2015). 40.116 Gedung Sekolah di NTT Rusak [edisi 9 Mei 2015] Diunduh melalui www.flobamora.net pada tanggal 6 Agustus 2015          
Heyward, M., Robert A.C., & Sarjono. (2011). Implementing School-Based Management in Indonesia. Research Triangle Park, Sept (2011), pp. 1-12.
Ian J.M. (2011). 21St Century Teaching and Learning [dilihat tanggal 6 Agustus 2015] tersedia di http://eric.ed.gov/?q=learning+in+21st+century+paradigma&ft= on&id=ED502607
Jansen, C. & Petro, M. (2015). Teaching Practice in the 21st Century: Emerging Trends, Challenges and Opportunities [dilihat tanggal 6 Agustus 2015] tersedia di http://eric.ed.govq=learning+in+21st+century+paradigma&ft=on&id=EJ1056080
Kompas. (2015). Tiga Kerangka Strategi Pendidikan di “Rembuk Nasional” 2015 [edisi 1 April 2015] Diunduh melalui www.edukasi.kompas.com pada tanggal 6 Agustus 2015.
Laksana, D.N.L. (2015). Komparasi Sistem Pendidikan di Beberapa Negara. Makalah (tidak diterbitkan). Pascasarjana TEP. Universitas Negeri Malang.
Kemdikbud. (2015). Melalui Program GGD, Pemerintah Upayakan Pemerataan Pendidikan di Indonesia. Diunduh melalui www.litbang.kemdikbud.go.id  pada tanggal 6 Agustus 2015.
Molenda, M and Al-Januszewski. (2008). Educational Technology, a Definition with Comentary. New York: Lawrence Erlbaum Associates.
Washiyama, Y. (2009). Theories for Different Outcomes of Instruction. Dalam Samuel S.P. & John C.L. (Eds.), Educational Evaluation in East Asia: Emerging Issues and Challenges, (pp. 111-116), New York: Nova Science Publishers, Inc.
Yarovaya, Y.B. (2015). Standardization of Primary Education in Great Britain European, Journal of Contemporary Education, 12 (2), pp 169-174.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar