MENUJU PENDIDIKAN
BERKUALITAS DAN BERKELANJUTAN
DI ERA PEMBELAJARAN ABAD 21
Dek Ngurah Laba
Laksana, Universitas Negeri Malang
Diikutkan dalam Lomba Essay Tingkat Nasional Tahun 2015 di UGM
Latar Belakang
Dalam
sebuah sambutan kegiatan Pelepasan Guru Garis Depan, Presiden Indonesia Joko
Widodo mengatakan perlunya pemerataan pelayanan pendidikan di seluruh wilayah
Indonesia (Litbang Kemdikbud, 2015). Tentunya ini adalah sebuah cita-cita yang
agung dan mulia. Namun, apakah ini sesuatu yag terlambat? Mengingat kemerdekaan
yang diperoleh 70 tahun silam merupakan durasi waktu sangat lama. Perlu juga
diingat bahwa, pemerataan pendidikan sudah menjadi program prioritas dari
kementerian pendidikan dari penguasa sebelum era Presiden Jokowi. Program ini
dipertegas lagi dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2015,
dimana prioritas utama dan sangat penting adalah meningkatkan mutu dan kualitas
pendidikan (Kompas, 2015).
Bukan ingin menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia
tidak mengalami perkembangan nyata. Namun, inilah yang dirasakan oleh seluruh
elemen masyarakat Indonesia. Benar faktanya, jika kesejahteraan guru (khusus
guru PNS) meningkat, lembaga pencetak guru meningkat, anggaran pendidikan
meningkat. Peningkatan ini jelas baik untuk pengembangan pendidikan yang
berkualitas.
Kenyataannya,
bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia? Berbicara kualitas, tentunya kita
berbicara input dan output. Telisik saja apa yang ada di sekolah-sekolah di
Indonesia. Infrastruktur utama dan penunjang pendidikan belumlah merata.
Contohnya, gedung sekolah dasar di Kota Denpasar, sangat megah, lantai dua, dan
penuh fasilitas. Bagaimana dengan gedung sekolah dasar di salah satu Desa di Bali
dengan gedung seadanya, rusak dan tidak layak untuk kegiatan pembelajaran
(Balipost, 2015). Realita ini bahkan terjadi di pulau Bali, yang katanya pulau
surga. Apalagi jika kita telisik lagi di provinsi timur Indonesia. Di NTT
misalnya, ada puluhan ribu gedung sekolah yang tidak layak digunakan sebagai
kegiatan pembelajaran (Flobamora, 2015).
Belum lagi
jika kita kaitkan dengan paradigma pembelajaran abad 21, yang menekankan “Digital Technology Literacy” (Jansen
& Petro, 2015). Maka fasilitas pendukung untuk mencapai literasi tersebut
sudah menjadi sebuah kewajiban pemerintah. Ian (2011) juga mengungkapkan dengan
dukungan literasi teknologi digital dapat melahirkan empat prinsip pembelajaran,
yaitu: (1) instruction should be student-centered; (2) education should be collaborative;
(3) learning should have context;
dan (4) schools should be integrated with
society.
Pemerintah
sebagai regulator pelaksanaan pendidikan di Indonesia adalah penanggungjawab
tunggal kemirisin ini. Bagaimana tidak, UUD 1945 pasal 31 menguatkan pelaku
tunggal untuk memajukan pendidikan adalah pemerintah melalui, kementerian
terkait serta guru dan dosen pencetak guru.
Ide Gagasan
Kualitas pendidikan dilihat dari sejauhmana SDM mampu
menghidupi kebutuhannya. Salah satu indikator yang berlaku secara internasional
yaitu standar yang dikeluarkan oleh Badan Survey Internasional, PISA (Programme for International Student
Assessment). Bukan rangking Indonesia yang dibahas disini (peringkat 65
dari 66 negara yang disurvey Tahun 2013). Tetapi bagaimana indikator survey
itu, mencerminkan kualitas pendidikan di Indonesia. Dari indikator yang ada,
tampaknya faktor guru, kurikulum dan fasilitas pembelajaran menjadi barometer
yang harus dibenahi.
Guru,
adalah garda utama yang berperan menterjadikan kelas belajar. Kurikulum,
jembatan penghubung antara proses belajar dengan kompetensi yang dicapai.
Fasilitas, menjadikan suasana menjadi belajar. Faktor guru dan kurikulum sudah
dibenahi dan ditata sejak Indonesia merdeka. Ketentuan yang terbaru, guru wajib
S-1 dan telah mendapatkan sertifikat pendidik. Kurikulum pun demikian, sudah
dibenahi sampai memunculkan kurikulum 2013 yang masih dipending pemberlakuannya
secara nasional.
Faktor yang
ketiga, yaitu fasilitas menjadi satu hal yang tampaknya sulit dibenahi. Dan
bagian inilah yang menjadi focus agar kualitas pendidikan bisa dioptimalkan.
Fasilitas pembelajaran, tidak bisa dimaknai sempit sebagai sarana dan prasarana
belajar saja. Tapi bagaimana guru dan kurikulum dapat memfasilitasi pebelajar
untuk belajar (Molenda & Januszewski, 2008).
Masalah
yang terjadi sekarang di Indonesia adalah, pemerataan dan akses pendidikan.
Sangat sulit dengan melihat keadaan geografis Indonesia. Tapi ini bukanlah
halangan, Sebut saja Negara Jepang. Dengan pulau-pulau dan pegunungan, tetapi
Pendidikan disana termasuk dalam kategori maju (Washiyama, 2009).
Atau luasnya wilayah Indonesia juga menjadi halangan? Ini juga bukanlah
halangan. Negara Amerika dan Australia yang lebih luas dari Indonesia merupakan
Negara dengan pendidikan maju (Laksana, 2015). Dengan melihat analisis
tersebut, keadaan geografis dan luas wilayah, bukanlah penghambat dalam
mencapai pendidikan yang bermutu dan berkulitas.
Strategi yang
ditawarkan adalah pemerataan fasilitas belajar untuk setiap satuan pendidikan
tanpa terkecuali. Standar fasilitas sarana dan prasarana harus sama, misalnya
saja ketersediaan sumber belajar berbasis TIK, akses sumber belajar dari
internet, perpustakaan digital, multimedia dan sebagainya. Ketersediaan alat
penunjang pembelajaran, LCD Projector,
komputer, fasilitas olahraga dan praktek. Kenyamaan belajar, mulai dari luas
ruang belajar yang memungkinkan pebelajar melakukan aktivitas secara leluasa,
laus permukaan meja belajar, tempat duduk yang nyaman. Fasilitas ini tentunya
mendukung secara ergonomis kenyamanan belajar.
Tentunya fasilitas
tersebut tidak hanya ada di sekolah swasta yang berlabel internasional atau
sekolah negeri yang ada di pemerintahan dengan APBD triliunan. Fasilitas
tersebut harus ada di seluruh dan di setiap satuan pendidikan. Baik itu sekolah
yang berada di pedalaman sekalipun.
Nah, itu baru sebagian
dari fasilitas untuk mendukung proses pembelajaran kearah yang lebih baik.
Sebagian fasilitas juga dibutuhkan untuk SDM guru. Guru harus mendapatkan
fasilitas untuk mengembangkan profesinya secara merata dan berkelanjutan.
Kembali lagi, ini berlaku untuk setiap guru. Data kualitas awal guru dapat
diketahui dari hasil uji kompetensi guru. Data awal inilah yang harus digunakan
sebagai pemetaan kompetensi guru dan pelatihan profesi yang dibutuhkan.
Seperti apa yang
menjadi program unggulan Di Inggris “equal
access to quality education” yang dapat dimaknai pendidikan yang setara
dalam paradigma pembelajaran abad 21. (Jansen & Petro, 2015; Ian, 2011). Hal ini dimaksudkan adalah
adanya kesamaan fasilitas baik itu fasilitas fisik maupun fasilitas peningkatan
mutu guru.
Dalam pelaksanaannya,
pendidikan adalah sebuah permainan sepakbola, dimana jika fasilitas latihan
sudah terpenuhi, anggaran tanpa batas, dan mempunyai pemain-pemain bagus,
tetapi tanpa seorang manajer yang handal, maka permainan tidak akan mendapatkan
hasil optimal. Untuk itu, apa yang disajikan adalah sebuah penggalan untuk
tahapan mencapai pendidikan dengan manajemen berbasis sekolah yang telah
terbukti dapat meningkatkan hasil belajar (Heyward, Robert & Sarjono, 2011). Dan tetap memperhatikan pembuat
kebijakan dengan memberikan fasilitas kesejahteraan bagi guru (Afrianto, 2014).
Analisis
Disadari atau tidak, fasilitas untuk membelajarkan dan
fasilitas untuk membuat belajar menjadi nyaman adalah yang utama. Inilah yang
disebut dengan fasilitas fisik berupa infrastruktur sekolah. Serta fasilitas
untuk penguatan mutu guru melalui program peningkatan profesionalitas guru.
Fasilitas adalah
harga mati. Jika memang negara ingin membuat kemajuan yang setara, menyeluruh,
dan holistic dalam dunia pendidikan kita. Lengkapnya sarana dan prasarana
sekolah akan menuntun kegiatan belajar yang menjadi nyaman. Terjaminnya
fasilitas guru dalam membelajarkan, akan menuntun mutu guru di kelas. Jika
fasilitas ini memadai, melek digital juga terwujud, dan apa yang menjadi
prinsip pembelajaran abad 21 juga dapat tercapai. Dengan demikian, Bangsa
Indonesia dapat mencapai generasi emas Tahun 2045, yaitu generasi yang
mempunyai creativity and innovation,
critical thinking and problem solving, serta communication and collaboration.
Kemudian,
apakah akan muncul pertanyaan, “bagaimana dengan anggaran?” sekali lagi, ini
bukanlah hambatan, Undang-undang sudah menjamin 20% anggaran pendidikan dari
jumlah anggaran nasional yang ada. Tinggal bagaimana Si-Manajer untuk memainkan
perannya. Jalankan sesuai Undang-undang, tanpa terdengar lagi sandungan
korupsi.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut. 1) Fasilitas pembelajaran,
tidak bisa dimaknai sempit sebagai sarana dan prasarana belajar saja. Tapi bagaimana
guru dan kurikulum dapat memfasilitasi pebelajar untuk belajar. 2) Strategi
yang ditawarkan adalah pemerataan fasilitas belajar untuk setiap satuan
pendidikan tanpa terkecuali. 3) Guru harus
mendapatkan fasilitas untuk mengembangkan profesinya secara merata dan
berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Afrianto. (2014). “Because teaching is like a plantation of dakwah”:
Understanding Complexities in Choosing to be a Teacher in Indonesia. Australian Journal of Educational &
Developmental Psychology, 14 (2014), pp. 51-59
Balipost.
(2015). Banyak gedung sekolah rusak, Karangasem dapat DAK tertinggi di Bali
[edisi 9 Juli 2015] Diunduh melalui www.balipost.com
pada tanggal 6 Agustus 2015.
Flobamora.
(2015). 40.116 Gedung Sekolah di NTT Rusak [edisi 9 Mei 2015] Diunduh melalui www.flobamora.net
pada tanggal 6 Agustus 2015
Heyward, M., Robert A.C., & Sarjono. (2011). Implementing
School-Based Management in Indonesia. Research
Triangle Park, Sept (2011), pp. 1-12.
Ian J.M. (2011). 21St Century Teaching and Learning
[dilihat tanggal 6 Agustus 2015] tersedia di http://eric.ed.gov/?q=learning+in+21st+century+paradigma&ft=
on&id=ED502607
Jansen, C. & Petro, M. (2015). Teaching Practice in the 21st
Century: Emerging Trends, Challenges and Opportunities [dilihat tanggal 6
Agustus 2015] tersedia di http://eric.ed.govq=learning+in+21st+century+paradigma&ft=on&id=EJ1056080
Kompas.
(2015). Tiga Kerangka Strategi Pendidikan di “Rembuk Nasional” 2015 [edisi 1
April 2015] Diunduh melalui www.edukasi.kompas.com
pada tanggal 6 Agustus 2015.
Laksana, D.N.L.
(2015). Komparasi Sistem Pendidikan di Beberapa Negara. Makalah (tidak diterbitkan). Pascasarjana TEP. Universitas Negeri
Malang.
Kemdikbud.
(2015). Melalui Program GGD, Pemerintah
Upayakan Pemerataan Pendidikan di Indonesia. Diunduh melalui www.litbang.kemdikbud.go.id pada tanggal 6 Agustus 2015.
Molenda, M and Al-Januszewski. (2008). Educational Technology, a Definition with Comentary. New York:
Lawrence Erlbaum Associates.
Washiyama, Y.
(2009). Theories for Different Outcomes of Instruction. Dalam Samuel S.P. &
John C.L. (Eds.), Educational Evaluation
in East Asia: Emerging Issues and Challenges, (pp. 111-116), New York: Nova
Science Publishers, Inc.
Yarovaya,
Y.B. (2015). Standardization of Primary Education in Great Britain European, Journal of Contemporary Education, 12
(2), pp 169-174.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar