Jumat, 16 Oktober 2015

Essay

JIKA PEMBELAJARAN TANPA BERLANDASKAN TEORI
Oleh:
D.N. Laba Laksana

Tulisan ini tergores dari kesengajaan penulis mengamati anak kelas II di salah satu sekolah swasta terakreditasi “A” di Bali. Jelas disini tidak mempermasalahan status akreditasinya. Karena berbicara hal itu, terdapat banyak aspek besar dalam memberikan analisisnya, mulai dari standar isi sampai standar pembiayaan.
Pembelajaran (dalam teori mengajar dan teori belajar) secara umum ada tiga kegiatan utama, yaitu perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (termasuk formatif dan sumatif). Nah, fokus pengamatan penulis dalam kejadian ini adalah proses ketiga, yaitu melaksanakan penilaian sumatif. Mengapa penilaian yang menjadi acuan penulis? Hal ini erat kaitannya dengan proses perencanaan dan pelaksanaan. Dengan menganalisis penilaian yang dilakukan, dapat diketahui apakah perencanaan dan pelaksanaan yang dilakukan sudah sesuai teori pembelajaran (selalu berlandaskan teori mengajar dan teori belajar).
Dua teori yang akan dikonfrontasi disini adalah teori Piaget tentang tahapan perkembangan belajar anak dan teori hasil belajar oleh Anderson dan Krathwohl. Cukup dengan dua teori ini untuk mempermudah dan mempercepat analisis.
Pertama, penulis akan mulai dari bukti kasusnya, 

 

 Dari kasus pertama, terlihat jelas bahwa konten ini adalah matematika, yang merupakan rumpun ilmu abstrak. Bukan berarti tidak bisa dikonkritkan. Piaget dalam teorinya memaparkan usia anak SD lebih spesifik anak kelas II (usia maksimal 8 tahun) adalah masa perkembangan berpikir operasional konkrt. Sekali lagi konkrit. Apakah matematika tidak konkrit, iya ilmu matematika memang menyangkut hal abtraksi. Tapi ini bukan berarti tidak bisa dikonkritkan, apalagi ketika melakukan pembelajaran di usia 7-11 tahun. Implikasinya apa? Secara tegas penulis katakan, bahwa baik dalam merencanakan, melaksanakan ataupun melaksanakan penilaian, semua harus realistik, harus faktual, harus kontekstual, harus dapat dipikirkan secara konkrit. Dari penilaian yang dilakukan dengan menggunakan simbol abtraksi untuk anak usia ini, jelas dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, tidak berlandaskan teori yang ada.
Bagaimana dengan kasus yang kedua? Penulis garis bawahi, kasus yang kedua adalah konten pendidikan agama. Berarti secara awam kita sebut ini masalah akhlak, sikap, dan keyakinan. Dimana tujuan dari konten agama diberikan di semua satuan pendidikan adalah meghasilkan SDM yang berakhlak mulia. Dan ini tidak bisa dinilai dengan menggunakan domain kognitif (C1-C6). Dalam bukunya tentang taksonomi pendidikan, tidak semua konten bisa dinilai dengan taksonomi kognitif (saja). Apalagi yang menyangkut masalah akhlak. Terang saja, ditempat teori ini dilahirkan memang tidak mengenal adanya pelajaran agama di sekolah. Kemudian akan muncul pertanyaan apakah pebelajar yang bisa menyebutkan sifat-sifat dari atma dikatakan berakhlak? Jelas, ini tidak bisa dinilai dengan taksonomi kognitif tetapi dapat menggunakan taksonomi afektif.
Ketika kita masih melakukan pembelajaran asal mengajar dan asal tercapai target silabus, tanpa memperhatikan dan berjalan dengan landasan teori yang ada, maka sakitnya tuh di masa depan generasi emas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar