Jumat, 25 Januari 2013

OPINI


Siswa makan keju guru makan singkong
By: laba laksana
Memang menterjadikan pendidikan berkualitas sesuai amanat Undang-undang hasil kajian pakar terbaik Indonesia seperti istana penuh simsalabim adalah langkah berat dengan punggung membungkuk keberatan. Aneh jika tidak membungkuk. Beban administrasi, tuntutan si Manager, dan inginnya orang tua menjadi alloy dipundak. Sulit dipungkiri, elitisme siswa menjadi dilema seorang pengajar seperti saya. Setiap hari mereka turun dari mobil mewah sementara guru dengan gagah turun dari sepeda motor dekil pasca menerobos butiran debu ketika digunakan setiap kali mengajar les ke istana mewah itu. Mengapa justru dilematis? Padahal uang yang dimiliki oleh bokap nyokap mereka tidak berbatas jumlahnya. Pendidikan zaman sekarang memerlukan itu. Itu memang benar adanya, tapi belum ada grafik linear antara minat belajar siswa dengan kelimpahan rupiah atau dollar yang mereka miliki.
Faktanya memang, siswa sangat sulit mengajar mereka dengan minat yang sangat rendah. Jangankan minat, pekerjaan rumah alias PR yang seharusnya dikerjakan pun tiada. Ulangan sekedar memberikan jawaban, malah ada yang sengaja tidak menjawab. Belajar di kelas pun seperti itu, seperti terbiasa dengan rutinitas rumah atau tempat rekreasi ala Ausie atau Amrik nya.
Sanksi tegas seolah hanya sebagai penakut anak bayi bagi mereka. Bahkan mereka meminta sanksinya sendiri. Dan apa yang diberikan oleh sekolah, ya kebijakan tetap saja memanipulasi hasil belajar mereka, karena sekolah perlu siswa atau lebih tepatnya perlu uang. Masuknya siswa juga sekedar mengikuti arus. Walaupun siswa tidak paham betul bahasa Indonesia (ceritanya murid impor) tetap saja ikut belajar seperti biasa, yang ujung-ujungnya adalah naik kelas. Bukan karena gurunya tidak bisa berbahasa Inggris, tapi karena siswanya hanya tahu bahasa negaranya sendri.
Tapi ini tentunya membawa citra yang baik bagi sekolah, bagaimana tidak, siswa yang masuk ke sekolah itu banyak dari Jepang, Eropa, Australia, Amerika. Bangga pastinya, karena dianggap gurunya mampu berbahasa Inggris atau bahasa Jepang sama baiknya dengan siswa tersebut.
Nyatanya itu hanya isapan jari tengah. Sangat miris, dengan rupiah yang bergelimang tapi masih saja sang pendidiknya meriang. Inilah siswa yang makan keju, si pendidik tetap terpaksa lahap dengan singkongnya.
...Semoga meng-inspirasi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar